Labels

Sep 8, 2010

Cerita Kita Baru Saja Dimulai


Jam 17.30. Aku harus bergegas. Bisku sebentar lagi datang. Meleset sedikit, aku akan kehilangan kesempatan untuk duduk di tempat yang strategis untuk…tidur.

“Sorry, aku mau tanya sesuatu, bisa?”

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu kau sudah berdiri di hadapanku,. Dengan setumpuk dokumen di tanganmu, dengan ekspresi sedikit kelelahan.




Kuhempaskan tubuhku kembali ke kursi. Setengah jengkel, aku memandangmu. “Ada apa?”

Kau menyodorkan dokumen-dokumen itu, dan mulai bicara layaknya senapan mesin. Ribuan pertanyaan sudah kau simpan di benakmu, rupanya. Aku makin menahan dongkol. Kenapa harus kau simpan hingga sore begini? Aku toh tak ke mana-mana seharian ini.

“Aku sengaja tunggu sepi, supaya aku tak terlalu mengganggu waktumu.” Seakan bisa membaca pikiranku, kau begitu saja mengungkapkan alasanmu.

Meski berat untuk kuakui, tapi diam-diam, aku salut. Aku sejujurnya bisa melihat bahwa sebenarnya kau tak benar-benar menguasai apa yang mereka tuntut padamu sebagai bossku. Tapi, kau sungguh-sungguh berjuang supaya kau mampu memahaminya. Bukan sesuatu yang mudah. Bukan pula sesuatu yang adil untukmu, tapi alih-alih mengeluh, kau memilih untuk berjuang.

Sejak sore itu, semua berubah. Komunikasi kita begitu saja terjalin. Tiap sore kau datang. Tiap sore aku menerangkan. Dan malam menjemput. Tentu saja aku selalu ketinggalan bisku. Tapi entah kenapa, aku tak keberatan. Being with you is not that awful. Mmmm…aku belum berani berkata bahwa itu menyenangkan, tapi memang tak seburuk bayanganku semula.

Dan pada suatu sore.. “Terima kasih, seharusnya aku sebagai bossmu, aku banyak membantumu. Tapi kenyataannya, kau lah yang justru membantuku, dan kau bersedia mengerjakan tugasmu sendiri tanpa rewel.” Katamu sambil lurus menatapku.

Tahukah kau? Tatapanmu itu membuatku jengah. “Penyesuaian,” kataku sambil tertawa, berusaha menyimpan rapat-rapat jengah yang melanda.

“Ya penyesuaian. Situasi ini tak mudah untuk kita. Tapi aku senang kita bisa kerja sama.” Kau pun ikut tersenyum.

Di detik itulah aku menyadari, senyummu begitu berbahaya. Senyummu menyimpan hangat matahari. Senyummu mengirimkan sinyal-sinyal kehidupan. Dan hampir kuyakini, sulit bagiku untuk bertahan hidup tanpa pasokan senyum secerah mentari itu. Sama sulitnya dengan berusaha untuk tidak terjerat oleh senyuman itu.

Cerita kita, baru saja dimulai…

No comments:

Post a Comment