Labels

May 2, 2018

Dia Yang Tak Terbaca

Adalah sebuah nama dari masa lalu. Aku sendiri tak terlalu yakin, di mana harus kuletakkan nama itu. Dia tak terlalu istimewa, tapi tak juga biasa-biasa saja. Dia menempati sudut khusus yang tak bernama. Khusus untuk orang-orang yang tak ingin kuhapus begitu saja dari cerita hidupku.

Bertahun berselang tak terjalin komunikasi, meski dalam tahun-tahun itu sebenarnya kami tak total terpisah, namun nyaris tak ada kontak langsung. Aku tahu ceritanya, dia juga mungkin tahu ceritaku... tentu saja dari orang-orang yang mengenal kami berdua. Tapi aku dan dia tak saling berkomunikasi.

Lalu, entah bagaimana, begitu saja kami terhubung kembali. Bahkan menjadi dekat lebih dari yang dulu pernah terjadi. Menyenangkan. Tentu saja, karena aku memang meletakkan dia di ruang khusus, bukan? Pasti menyenangkan menjadi dekat kembali. Tapi... terhenti di situ saja. Meski menyenangkan, tak ada getar di hatiku untuk menjalin lebih. Padahal, di atas kertas, seharusnya dia sempurna untukku. Sayang, hatiku tetap tak mampu menyepakatinya.

Hingga, pada suatu hari kutemui dia memutuskan berlalu dari keseharianku. Entah letih, entah memang sebenarnya dia pun tak merasakan apapun (sama sepertiku). Dan kemudian, tak perlu menunggu lama, kusadari dia berlabuh di sepotong hati lain. Hati yang bening dan manis, yang bahkan tak mampu membuatku cemburu.

Tapi kalau aku mau jujur, ada sesuatu yang tak bisa kupahami terjadi antara kami. Aku tak bisa menjelaskan, tapi begitu kentara bahwa ada jarak yang tak terbaca. Aku tak mengerti. Seharusnya itu tak perlu terjadi, tapi faktanya, memang inilah yang terjadi. Aku bahkan tak mampu mempertanyakan, karena memang seharusnya tak perlu dipertanyakan. Hanya saja, begitu jelas aku merasakannya.

Dan kemudian, terjadilah sentuhan itu. Pipi kami bertemu dalam sebuah sapa. Bukan hal yang istimewa seharusnya. Tapi seluruh tubuhku merekam dengan baik kejadian beberapa detik itu. Bahwa ada cambang halus di pipinya, bahwa tangannya meraih pinggangku, bahwa harumnya semanis cake vanilla, bahwa...hatiku menggelenyar bahagia. Dan dalam detik ketika semua berlalu, matanya bertemu mataku. Ada sesuatu. Entah apa...

Biarkan saja tetap tak terbaca. Biar saja. Biar saja sentuhan beberapa detik itu, mengantarku menggapai lelap dengan senyum yang tak mampu kutahan.

No comments:

Post a Comment